Perempuan dan Objek Cyberbullying Hari Raya

Sumber Gambar: ultimagz.com
Sumber Gambar: ultimagz.com

Satu momen yang selalu ternanti ketika bulan Ramadan hendak berakhir dalah momentum perayaan hari raya Idulfitri. Di mana momen ini sebagai simbol kemenangan setelah menjalankan puasa satu bulan penuh. Momen Idulfitri juga menjadi ajang silaturahmi sesama umat muslim satu dengan yang lain, guna saling memaafkan kesalahan yang pernah terlakukan di bulan-bulan sebelumnya. Di ajang silaturahmi ini biasa terlaksana mengunjungi sanak saudara, tetangga, teman ataupun melalui pesan elektronik karena jarak.

Pada momentum perayaan Idulfitri, yang seharusnya menjadi hari memaafkan kesalahan justru menghadirkan luka hati baru dengan fenomena perisakan/perundungan (bully). Fenomena ini hampir selalu terjadi di raya. Perundungan terpicu adanya tren baju raya terkontenkan di kanal media sosial. Alih-alih mengucapkan kalimat permohonan maaf, justru yang terdengar adalah kalimat ejekan yang terlontar dari beberapa kalangan masyarakat. Baik secara di kehidupan nyata, maupun di belantara jagat maya. Tak pelak, konten semacam ini acapkali viral di berbagai sosial media.

Dampak Tren 

Perundungan ini mayoritas tertuju bagi kalangan perempuan. Pasalnya, tren bajulebaran ternyata tidak selalu menghadirkan pandangan positif di beberapa kelompok masyarakat. Banyak sekali pihak secara sadar menjadikan hal ini sebagai lelucon sangat mungkin memberikan luka hati bagi lainnya.

Contohnya adalah tren baju mode “shimmer” pada Idulfitri tahun 2024. Tak terlepas dari musik TikTok shimmer-shimmer yang tergunakan para kreator konten. Tren ini, menuai banyak sekali komentar yang mengarah pada ejekan, lelucon, serta bahan candaan berlebihan.

Sebuah video yang terunggah di kanal TikTok @geminiessgurlss, misalnya, video tertonton 50,3 juta kali. Video memuat konten dengan memperlihatkan seorang perempuan sedang mengenakan gamis shimmer. Hal tersebut menarik perhatian warganet +62 untuk beramai-ramai melontarkan komentar beragam. Beberapa di antaranya mengungkapkan penyesalan karena terlanjur membeli baju yang serupa. Namun, tidak sedikit yang melontarkan ejekan berupa lelucon dengan menyamakan perempuan tersebut seperti manusia silver, jas hujan, APD Covid, bahkan aluminium foil.

Tidak hanya berhenti di fenomena shimmer, kalimat ejekan juga terlontar pada mereka yang menggunakan abaya “cupang”. Hal ini banyak mengundang perhatian netizen untuk menertawakan akibat nama dan model baju yang tertawarkan. Sebagian besar mereka mengatakan bahwa abaya cupang ini lebih masuk akal alih-alih baju shimmer. Meskipun demikian, hal ini tentu mempengaruhi reaksi sebagian masyarakat memberikan ejekan sebagai candaan ketika bertemu langsung dengan pengguna tren ini.

Baca Lainya  Paula Verhoeven, Elegansi Busana Muslimah

Hal serupa juga terjadi pada hari raya Idulfitri tahun 2023, saat itu tren baju hari raya berwarna hijau sage. Sangat mudah terjumpai keluarga dengan baju lebaran warna ini. Alhasil beberapa komentar negatif sontak membanjiri laman dunia maya karena kesamaan warna yang terpakai, hanya modelnya saja yang berbeda. Istilah “tersage-sage” menjadi ungkapan candaan yang ada sebagai wujud keumuman warna baju lebaran tahun itu.

Bentuk Normalisasi

Penghinaan berupa candaan seperti ini masih teranggap sesuatu yang sangat lumrah bagi sebagian masyarakat Indonesia. Padahal tanpa kita sadari, normalisasi atas perilaku merendahkan atau menghina orang lain dengan menganggap itu sebagai suatu hal yang lucu merupakan salah satu faktor terjadinya cyberbullying jika mengacu referensi dari Asalnaije, dkk tentang “Bentuk-Bentuk Cyberbullying di Indonesia” (2024). Jika kekerasan verbal seperti ini dibiarkan atau bahkan di toleransi di Sebagian Masyarakat, tentu saja akan mempengaruhi perilaku individu dalam bersosial media.

Menlansir ulasan penelitian Atika Marlef, Masyhuri Masyhuri, dan Yuslenita Muda (2024), tentang cyberbullying, terpaparkan bahwa cyberbullying merupakan ejawantah dari perilaku perundungan yang terjadi secara online di media sosial dengan tujuan menjatuhkan, mengejek, dan mempermalukan orang lain. Sebagai pengguna media sosial aktif, tentu saja kita memiliki peluang yang sangat besar untuk lebih dekat dengan cyberbullying.

Berangkat dari dana terhadap tren baju lebaran, tentunya akan mempengaruhi cara pandang sebagian masyarakat di dunia nyata, terlebih saat berpapasan secara langsung oleh pengguna tren tersebut. Kalimat-kalimat perundungan yang ada di media sosial akan terlontarkan secara verbal pula.

Dampak psikologis yang terasakan korban cyberbullying berefek pada perasaan malu, sakit hati, putus asa, dan perasaan hati tidak stabil. Hal tersebut termuat juga dalam penelitian Roland Lekatompessy, Nur Setiawati Dewi, dan Megah Andriany tentang “Respons Psikologis Remaja Korban Cyberbullying: Studi Kasus Pada Remaja” (2022). Dampak nyata dari fenomena media sosial yang berujung ke dunia nyata ini membuat para perempuan tidak percaya diri saat mengenakan pakaian di hari raya. Terdapat rasa was-was saat melakukan anjang sana. Alhasil, bagi sebagian orang memilih menarik diri saat perayaan hari raya. 

Baca Lainya  Misteri di Balik Tren Sepatu Putih

Usaha Menghindari

Lalu bagaimana cara untuk menghindari melakukan perilaku cyberbullying? Setidaknya terdapat tiga faktor dapat memandu individu untuk terhindar dari perilaku itu,yakni: pengendalian diri, pengawasan dari keluarga, dan masyarakat dan literasi digital. 

Pengendalian diri memiliki peran yang sangat krusial dalam menghadapi penggunaan media sosial. Perilaku cyberbullying akan terhindari jika seseorang memiliki pengendalian diri yang optimal. Dalam artian bahwa semakin baik pengendalian diri seorang individu, maka semakin besar pula peluang untuk individu tersebut menghindari perilaku cyberbullying.

Keluarga dan masyarakat berperan dalam memberikan pemahaman terhadap anak dan warga lainnya tentang urgensi menghindari perilaku cyberbullying serta dampak yang timbul. Tidak hanya itu, keluarga juga memiliki peran untuk meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan media sosial anak.

Yang tak kalah penting adalah menumbuhkan literasi digital yang sehat. Literasi digital bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada setiap individu akan pentingnya beretika dalam bersosial media. Dengan menghormati batasan privasi dan hak orang lain serta menghindari penyebaran informasi yang berpotensi menyinggung orang lain di internet, misalnya. Dengan demikian, pengendalian diri, peran keluarga dan masyarakat, serta literasi digital memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap individu agar bisa terhindar dari perilaku cyberbullying.

Lalu bagaimana dengan tren baju lebaran tahun ini? Terlepas dari tren apa yang akan viral dan oleh masyarakat Indonesia pilih, esensi Idulfitri itu sendiri lebih penting untuk kita pahami. Kemenangan setelah melawan hawa nafsu dan pembaruan diri, selayaknya tersempurnakan dengan saling memaafkan dan mempererat tali silaturahmi. Kebersamaan yang terjalin untuk menguatkan hubungan sosial dan ikatan emosional antarsesama sebaiknya menjadi alasan untuk kita tidak lagi menyudutkan pihak manapun yang mengikuti tren lebaran baik di dunia maya maupun nyata.[]

Baca Lainya  Perempuan dalam Budaya Pesantren

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *