Perempuan dalam Narasi Kesehatan Mental

Diri Sendiri
Sumber Gambar: pixabay.com

Kesehatan mental adalah bagian penting dari kehidupan setiap orang, tetapi sering terabaikan atau tersalahpahami, terutama untuk perempuan. Perempuan yang menunjukkan gejala kecemasan atau depresi sering teranggap sebagai “berlebihan” atau “lebay” di kalangan masyarakat, termasuk Indonesia. Persepsi ini membuat kesehatan mental mendapat stigma lebih buruk dan mencegah perempuan mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.

Studi menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan ketimbang laki-laki untuk mengalami kecemasan. Menurut American Psychiatric Association (2013), beberapa faktor biologis, psikologis, dan sosial menyebabkan perempuan dua kali lebih sering mengalami gangguan kecemasan alih-alih laki-laki. Selain itu, penelitian yang oleh Kessler et al. (2005) lakukan, menemukan bahwa perempuan mengalami gangguan kecemasan lebih sering daripada laki-laki di berbagai kelompok usia dan budaya.

Penelitian Nurasih dan Prihastuti (2019) dalam Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental menunjukkan perempuan di Indonesia menghadapi beban ganda dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam pekerjaan rumah maupun di tempat kerja, yang menyebabkan mereka mengalami tingkat stres dan kecemasan yang lebih tinggi. Kondisi ini juga semakin buruk kala peran sosial yang mengharapkan perempuan untuk tetap sabar dan mengutamakan kepentingan keluarga.

Anggapan Berlebih

Ekspresi emosional perempuan sering teranggap berlebihan oleh masyarakat. Ini terkait dengan konstruksi sosial yang ada sejak lama. Dalam The Second Sex (1949) karya Simone de Beauvoir, perempuan sering teranggap “the other” atau berbeda dari standar manusia, laki-laki. Perspektif ini menganggap perempuan lebih emosional dan kurang rasional daripada laki-laki. Akibatnya, keluhan tentang kesehatan mental mereka sering kali teremehkan.

Selain itu, penelitian Eagly dan Wood (2012) dalam Annual Review of Psychology menunjukkan, stereotipe gender telah menyebabkan orang berpikir perempuan harus lebih kuat dan penyabar ketika menghadapi tekanan emosional. Ketika ia menunjukkan tanda depresi atau kecemasan, masyarakat cenderung menganggapnya bagian dari “kodrat” perempuan dan tidak perlu tertangani dengan serius.

Baca Lainya  Peran Perempuan dan Lelaki di Masyarakat

Stigma terhadap kesehatan mental perempuan memiliki konsekuensi psikologis dan sosial yang signifikan. Menurut penelitian Corrigan et al. (2014) dalam Psychology Science in the Public Interest, stigma kesehatan mental menghalangi orang untuk mendapatkan bantuan profesional, meningkatkan risiko keterlambatan diagnosis, dan menyebabkan kondisi mental menjadi lebih buruk.

Studi oleh Wahyuni & Rahayu (2021) dalam Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat menemukan bahwa di Indonesia, hanya sedikit perempuan yang meminta bantuan profesional karena takut mendapat stigma dari keluarga atau orang-orang di sekitar mereka. Banyak wanita akhirnya memilih untuk menyembunyikan depresi dan kecemasan mereka, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kondisi kesehatan mental mereka menjadi lebih buruk.

Posisi Sosial

Budaya patriarki yang masih kuat di banyak negara, termasuk Indonesia, turut memperkuat stigma terhadap kesehatan mental perempuan. Seperti yang Nawal El Saadawi kemukakan dalam bukunya The Hidden Face of Eve (1980), perempuan dalam masyarakat patriarkal sering kali harus menekan emosinya dan menghindari menunjukkan tanda-tanda “kelemahan”, karena hal ini dapat berisiko terhadap posisi sosial mereka.

Norma sosial dan agama di Indonesia sering menekankan peran perempuan sebagai ibu dan istri yang penuh pengorbanan. Menurut penelitian Ningsih et al. (2020) dalam Jurnal Gender dan Pembangunan, perempuan yang berfokus pada kesehatan mentalnya sendiri sering teranggap egois dan tidak bertanggung jawab atas keluarganya. Hal ini membebani wanita dan membuat mereka tidak memiliki ruang untuk memprioritaskan kesehatan mental mereka.

Pendidikan kesehatan mental yang lebih luas perlu untuk menghilangkan stigma ini, terutama untuk perempuan. Penelitian Thornicroft et al. (2016) dalam The Lancet Psychiatry, menulsikan, kampanye pendidikan publik yang tertuju kepada masyarakat umum memiliki potensi untuk mengurangi stigma kesehatan mental dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya dukungan sosial bagi mereka yang menderita gangguan mental.

Baca Lainya  Pemberdayaan Pendidikan Perempuan Madura: Membangun Generasi Berkualitas

Rasa Empatik

Selain itu, sangat penting untuk melihat teman, keluarga, dan tempat kerja dengan cara yang lebih empatik. Dalam bukunya In a Different Voice (1982), Carol Gilligan menekankan bahwa pendekatan berbasis empati sangat penting untuk memahami pengalaman perempuan, termasuk masalah kesehatan mental. Sangat penting bagi masyarakat untuk mendengarkan dan mendukung perempuan dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis ilmiah daripada menganggap kecemasan mereka sebagai sesuatu yang berlebihan.

Menganggap kecemasan pada perempuan sebagai sesuatu yang “lebay” adalah pandangan yang tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya. Persepsi ini memperparah stigma terhadap kesehatan mental perempuan dan menghalangi mereka untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa perempuan memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan kecemasan akibat kombinasi faktor biologis, psikologis, dan sosial.

Melihat kecemasan perempuan sebagai sesuatu yang “lebay” adalah pandangan yang keliru dan berbahaya. Persepsi ini menyebabkan kesehatan mental perempuan mendapat stigma lebih buruk dan mencegah mereka mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Akibat kombinasi faktor biologis, psikologis, dan sosial, perempuan lebih rentan terhadap gangguan kecemasan, menurut beberapa penelitian.

Akibatnya, sangat penting bagi masyarakat untuk mengubah perspektif ini dengan memberikan pendidikan kesehatan mental yang lebih baik, menghilangkan stigma yang ada, dan membuat lingkungan yang lebih empatik dan mendukung. Kita dapat membantu perempuan untuk berbicara dan mencari bantuan tanpa takut atau malu dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis sains.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *