Memaknai Iduladha, Merawat Lingkungan

Hari-hari berkabung daging bernama Iduladha mungkin perlahan memudar di ingatan masyarakat Indonesia. Hari itu serta tiga hari setelahnya (tasyrik), euforia umat Islam kembali teringatkan oleh upacara penyembelihan, membersihkan jeroan, hingga memasak hidangan. Daging-daging mulanya berasal dari tubuh sapi atau kambing lalu berujung menjadi sebuah hidangan lezat.

Setelah daging terpotong, daging bakal dibagikan menggunakan sebuah wadah. Umumnya, dan memang mayoritas, panitia kurban di manapun bakal mewadahi daging itu dengan kantong plastik. Jelas, kantong bakal tergunakan sekali pakai. Terbayang, betapa melimpahnya sampah-sampah plastik bekas daging terbuang.

Konsepsi Argumen

Potret ini membawa kita pada pertanyaan mengapa kerap muncul paradoks dalam urusan ubudiah dan realitas? Padahal, Iduladha menjadi hari kemenangan umat Islam tapi mengapa malah memberi noda terhadap isu lingkungan yang ada. Telah lama, almarhum KH. Ali Yafie (pernah menjadi Rais ‘Aam PBNU dan Ketua MUI) menggagas bahasa soal fikih lingkungan. Bahkan mendiang secara serius menuliskannya dalam buku Merintis Fiqh Lingkungan Hidup (2006).

Dalam pendapat lain, Jaser Auda menetapkan hifzhul bi’ah (menjaga lingkungan) sebagai hal yang harus terdahulukan di antara maqashid as-syari’ah (tujuan hukum Islam) yang lainnya. Ringkasnya, bila lingkungan terjaga maka maqashid-maqashid lain bakal terlaksanakan dengan mudah. Bagaimana mungkin, misalnya, saat banjir kita ingat atau kuasa melaksanakan salat lima waktu (hifzhu ad-din) sementara kondisi lingkungan yang tak memungkinkan; genangan air dan lumpur di mana-mana. 

Tak main-main, dua pendapat di atas terafirmasi juga dalam salah satu musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, tahun 2017 silam. Poin bahasan berbunyi, merusak lingkungan hidup adalah haram. Bahwa dalam kanon pembangunan apapun, termasuk tempat ibadah misalnya, harus tetap memerhatikan kelestarian alam.

Baca Lainya  Perempuan dan Iduladha

Sedang dalam bingkai akademis, sorotan ini dikaji serius oleh Prof. Mudhofir Abdullah dari UIN Raden Mas Said Surakarta. Sewaktu menjalani studi doktornya, ia menulis tesis kemudian menjadi buku berjudul Al-Quran dan Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah (2010). Kira-kira pendapat Mudhofir tak jauh beda dengan apa yang Jaser jelaskan.

Ikhtiar Menjaga

Kejelian mengamati fenomena beragama hari ini menjadi otokritik bagi penjagaan marwah agama itu sendiri. Lelaku umat Islam di Iduladha harus terhindar dari dikotomi yang ada. Hari raya Iduladha tak boleh hanya termaknai sebagai waktu euforia dan hura-hura semata. Hari mulia itu patut menjadi hari kemenangan, yang betul-betul memuliakan, segala aspek yang ada; termasuk lingkungan.

Melihat fenomena cara beragama umat Islam di Indonesia yang beragam, pun hadirnya sekian ormas, menjadi sebuah kacamata baru bagaimana sorotan umat Islam terus terperhatikan. Setiap ormas tentu memiliki landasan terambil dari pelbagai kitab, hadis, dan literatur lain dalam menyikapi isu lingkungan ini. Apalagi isu lingkungan itu berdampingan langsung dengan konteks pelaksaan ibadah.

Semarak Iduladha selain berkutat dengan takbir keliling, menyembelih, dan memasak hidangan tak bisa lepas dari produksi sampah. Ormas-ormas selain semangat memberi imbauan tata cara menyembelih hewan kurban dan fadilah berkurban, perlu pula mengedukasi bagaimana menanggulangi limbah atau sampah yang bakal terproduksi dalam serangkaian hal itu.

Sebagai contoh, ormas Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di beberapa daerah di Solo Raya menggunakan besek beralas daun jati untuk mewadahi daging kurban. Cara ini terlakukan anggota MTA tak lain demi menjaga kualitas dan sterilitas daging. Pun menerapkan kaidah “penjagaan” terhadap lingkungan.

Mereka berusaha menghindari pemakaian wadah sekali pakai seperti kantong plastik. Dalam kanon ini, saya rasa, MTA lebih progresif walau jika melihat rekam jejak ormas ini pernah menggemparkan jagat umat Islam Indonesia lewat ucapan atau fatwa mantan pimpinannya; Almarhum Ahmad Sukina. Karena itu, dalam kanon isu ini bolehlah kita menepi sejenak dari pelbagai polemik pernah terlakukan oleh MTA. 

Baca Lainya  Kawin Paksa: Dampak terhadap Otonomi dan Kesetaraan Perempuan

Pada konteks demikian, justru ormas-ormas lain boleh mencecap-nirukan gagasan MTA soal kelestarian lingkungan. Memang tak sepenuhnya berdampak, namun paling tidak sedikit persen menyetop sumbangsih sampah plastik kala Iduladha tiba. Manakala ormas lain, yang tentu memiliki anggota lebih banyak alih-alih MTA, bisa menginstruksikan anjuran ini pada anggotanya, bisa memberi bukti bahwa umat Islam betul-betul peduli akan wacana lingkungan. 

Tak Sepele

Memang memproduksi besek tak semudah dan secepat kantong plastik. Harganya pun jauh berbeda. Namun, sesuatu lebih mahal cenderung memiliki keunggulan lain dalam kualitas. Pun tiada banding dengan harga yang harus dibayar saat warga terlanda bencana gegara kerusakan lingkungan.

Ada pertaruhan lain, selain soal harga dan kepraktisan, bakal diterima masyarakat kala memilih kantong plastik alih-alih besek. Sumbangan sampah plastik itu sudah pasti terjadi hingga mendapati bencana alam; banjir misalnya. Kalau sudah begini lebih baik di awal bayar lebih mahal, alih-alih harus membayar nasib di ujung sengsara, bukan?

Sebagian mungkin memilik pandangan lain, soal keharusan memperbaiki kesadaran masyarakat bukan malah mempersoalkan wadah daging hingga isu lingkungan. Benar, upaya itu seharusnya sudah tertanam sejak masyarakat mendapat asupan pemahaman lewat lembaga pendidikan atau imbauan. Faktanya kesadaran itu tak sepenuh-semuanya terlakukan. Apakah kita harus menunggu bencana tiba agar masyarakat sadar ihwal perilakunya itu? Kan, ironis.

Dalam pada itu, kurban mulanya sebagai bentuk ibadah sosial berharap mendapat pahala dari Allah Swt. tetapi malah berujung pada penyumbangan kemadaratan terhadap lingkungan. Fenomena itu tentu layak direnungkan oleh umat dalam melaksanakan kurban di tahun-tahun mendatang. Aspek ibadah kurban itu bersifat ketuhanan dan serangkaian ibadah sosial, namun sikap apresiatif terhadap lingkungan (hablum minal alam) pun, sebagaimana tercantum dalam maqashid, mau tak mau harus tetap terlakukan.

Baca Lainya  Siti Sarah: Memaknai Keluhuran Hati Seorang Istri

One thought on “Memaknai Iduladha, Merawat Lingkungan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *