Marsinah: Simbol Perlawanan Perempuan

Marsinah Sumber Gambar: suarausu.co.id

Ketika membicarakan tentang sejarah perjuangan buruh dan hak asasi manusia di Indonesia, nama Marsinah tidak dapat terpisahkan. Ia bukan hanya sekadar seorang buruh perempuan, tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan represi negara. Tragedi yang menimpanya pada tahun 1993 menjadi titik balik dalam menyadarkan publik tentang kerasnya sistem ketenagakerjaan, lemahnya perlindungan terhadap buruh, serta buruknya penegakan hukum di era Orde Baru.

Lebih dari itu, kisah Marsinah menempatkan perempuan sebagai subjek perjuangan yang kerap kali terpinggirkan dalam narasi besar sejarah. Esai ini bertujuan untuk mengulasnya sebagai simbol perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan sosial melalui tiga pendekatan utama. Di antaranya, biografi singkat, konteks sosial-politik yang melingkupi perjuangannya, dan warisan perjuangan dalam konteks kontemporer. Dengan demikian, berharap pembaca dapat memahami bukan hanya siapa Marsinah, tetapi juga mengapa ia tetap relevan hingga hari ini.

Pusaran Sejarah

Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur. Ia besar dalam keluarga sederhana dan sejak usia muda sudah terbiasa hidup mandiri. Setelah menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA, ia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah perusahaan manufaktur di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagai buruh, Marsinah terkenal cerdas, berani, dan vokal terhadap isu-isu ketenagakerjaan.

Peristiwa penting yang membawa Marsinah ke pusaran sejarah terjadi pada awal Mei 1993, ketika ia dan rekan-rekannya menuntut kenaikan upah dan hak-hak buruh lainnya, sebagaimana teramanatkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur. Namun, bukannya mendapatkan tanggapan positif, beberapa buruh yang memimpin aksi justru ditahan secara paksa oleh aparat militer. Marsinah yang tidak tinggal diam, kemudian mencari kejelasan atas penahanan tersebut. Beberapa hari kemudian, tubuhnya teitemukan dalam keadaan mengenaskan di hutan Wilangan, Nganjuk, dengan tanda-tanda penyiksaan berat. Ia tewas di usia 24 tahun.

Baca Lainya  Megawati Hangestri: Atlet Voli Mengharumkan Bangsa

Perjuangan Marsinah tidak dapat terlepaskan dari realitas ketimpangan sosial dan gender yang telah mengakar lama dalam struktur masyarakat Indonesia. Dalam dunia kerja, terutama di sektor industri, buruh perempuan kerap mengalami eksploitasi ganda: sebagai pekerja dan sebagai perempuan. Mereka tertuntut bekerja dalam kondisi yang keras, dengan upah rendah, jam kerja panjang, dan minimnya perlindungan hukum.

Diskriminasi berbasis gender juga memperparah situasi, seperti tidak adanya cuti haid yang layak, pelecehan seksual di tempat kerja, hingga stereotip bahwa perempuan tidak layak berada dalam ruang-ruang pengambilan keputusan. Marsinah, sebagai buruh perempuan yang berani bersuara, merepresentasikan bentuk perlawanan terhadap kondisi struktural tersebut. Ia menyuarakan aspirasi kolektif, menolak tunduk pada sistem yang menindas, dan menghadapi risiko besar demi solidaritas. Keberaniannya menjadi sangat berarti karena terjadi dalam iklim ketakutan dan represi, di mana kritik terhadap pemerintah atau militer bisa berujung pada penculikan, penyiksaan, bahkan kematian.

Represi terhadap Gerakan Buruh

Pembunuhan Marsinah tidak bisa terpisahkan dari konteks politik Orde Baru yang otoriter. Pada masa itu, kebebasan berserikat terbatasi ketat. Serikat buruh independen nyaris tidak bisa beroperasi, dan semua kegiatan buruh terawasi oleh militer melalui mekanisme Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) dan serikat buruh tunggal yang berada di bawah kendali negara, yaitu SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Marsinah aktif dalam memperjuangkan hak-hak buruh di luar struktur yang tersahkan negara, dan hal ini teranggap membahayakan stabilitas politik berdasarkan kekuasaan militeristik. Represi terhadap gerakan buruh merupakan bagian dari strategi negara untuk menjaga investasi dan pertumbuhan ekonomi dengan cara menekan upah serendah mungkin dan menghindari konflik industrial yang teranggap mengganggu “stabilitas nasional.”

Baca Lainya  Lanny Kuswandi: Penggagas dan Pakar Hypno-Birthing Indonesia

Tragedi Marsinah menunjukkan bagaimana negara, melalui aparat keamanannya, menggunakan kekerasan untuk membungkam suara-suara perlawanan. Proses hukum atas kasusnya tidak pernah tuntas. Pelaku utama tidak pernah teradili secara adil, dan kasusnya hingga kini masih menyisakan luka kolektif dalam ingatan publik. Marsinah menjadi korban dari sistem yang membiarkan kekerasan sebagai alat kontrol sosial.

Simbol Perlawanan Perempuan

Apa yang membuat Marsinah istimewa adalah keberaniannya yang luar biasa dalam melawan struktur kekuasaan yang begitu kuat dan represif. Ia tidak hanya menuntut upah layak, tetapi juga hak atas martabat dan kemanusiaan. Dalam konteks pergerakan perempuan, Marsinah menjadi simbol bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga pelaku perubahan sosial.

Perlawanan Marsinah juga mengangkat kesadaran bahwa perjuangan perempuan tidak bisa terpisahkan dari perjuangan kelas dan hak asasi manusia. Dalam wacana feminisme kontemporer, Marsinah bisa terbilang sebagai figur “feminis kelas pekerja,” yang memperjuangkan pembebasan bukan hanya dalam ranah domestik, tetapi juga dalam struktur ekonomi dan politik yang menindas. Keberanian Marsinah menginspirasi banyak aktivis buruh dan perempuan setelahnya. Ia menjadi simbol bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan tidak mengenal jenis kelamin, latar belakang ekonomi, atau pendidikan. Perjuangan Marsinah adalah bukti bahwa satu suara pun dapat mengguncang sistem.

Lebih dari tiga dekade sejak kematiannya, semangat perjuangan Marsinah tetap hidup dalam berbagai bentuk. Setiap tanggal 8 Mei terperingati sebagai Hari Marsinah, dan banyak organisasi buruh serta perempuan menjadikan sosoknya sebagai inspirasi. Kisahnya terangkat dalam puisi, lagu, drama teater, dan film dokumenter, menjadikannya bagian dari ingatan kolektif bangsa. Namun demikian, berbagai masalah yang Marsinah perjuangkan belum sepenuhnya selesai.

Buruh perempuan masih menghadapi tantangan berat: upah minimum yang tidak layak, outsourcing yang merugikan pekerja, minimnya jaminan sosial, hingga kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Selain itu, ruang bagi organisasi buruh independen masih terbatas, dan kriminalisasi terhadap aktivis masih terjadi. Marsinah mengingatkan kita bahwa perjuangan hak-hak buruh dan perempuan adalah perjuangan yang terus-menerus. Ia mengajarkan bahwa perubahan tidak datang dari atas, tetapi dari keberanian orang-orang biasa yang berani menentang ketidakadilan.

Baca Lainya  Nyi Ageng Serang: Sosok Bu Nyai Pemimpin Perang

Marsinah adalah simbol perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan sosial yang paling kuat dalam sejarah Indonesia modern. Keberaniannya melawan sistem yang menindas, meskipun harus dibayar dengan nyawa, menjadikannya figur penting dalam sejarah pergerakan buruh dan perempuan. Ia bukan hanya korban, tetapi pahlawan yang mewakili suara-suara yang sering dibungkam oleh kekuasaan. Kisah Marsinah memberi kita pelajaran penting: bahwa keadilan sosial harus diperjuangkan, bukan ditunggu. Bahwa suara seorang perempuan pun bisa mengguncang ketidakadilan sistemik. Dan bahwa ingatan kolektif atas keberaniannya harus terus dijaga, bukan hanya untuk mengenangnya, tetapi juga untuk meneruskan perjuangannya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *