Maria Walanda Maramis memiliki nama asli Maria Josephine Catherine Maramis. Ia adalah seorang Pahlawan Nasional karena usahanya untuk memajukan perempuan Indonesia pada permulaan abad ke-20. Ia lahir pada 1 Desember 1872 dan meninggal pada 22 April 1924.
Sejak usia enam tahun, Maria tinggal bersama paman dan bibinya, sebab kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Waktu itu di Minahasa masih terikat kebiasaan, bahwa anak perempuan hanya boleh sekolah sampai Sekolah Dasar. Setelah menamatkan sekolah dasar, perempuan bertanggungjawab membantu orangtua mereka, berternak atau mengurus rumah tangga, sampai tiba saatnya menikah.
Pendidikan bagi perempuan saat itu sangat terbatas. Penyelenggaraan pendidikan tidak dapat merata antara laki-laki dan perempuan. Perempuan Minahasa hanya dapat sekolah di sekolah Belanda atau Volksscholdengan masa belajar hanya tiga tahun. Kesempatan untuk menimba ilmu kebih tinggipun hilang bagi kaum perempuan. Hal itulah yang membuat Maria Walanda Maramis sadar betapa besar perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan di Minahasa pada waktu itu (Rahayu, 2014).
Perempuan Minahasa terperangkap dalam persoalan pernikahan pada usia dini. Gadis-gadis Minahasa pun akhirnya hidup tanpa ilmu dan kesibukan, sehingga hilanglah kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan yang dapat membuat mereka bijaksana dan mampu mencapai kebahagian serta cara hidup yang baik (Anjani dkk, 2019).
Saat berusia 18 tahun, Maria menikah dengan Jozef Frederik Calusung Walanda, seorang guru bahasa di HIS Manado. Mereka tinggal di Airmadidi dan Maumbi, Minahasa Utara. Saat itu, perempuan di lingkungan Maria tinggal tidak memiliki banyak pengetahuan soal kesehatan, rumah tangga, dan mengasuh anak.
Secara sembunyi-sembunyi, Maria berkeliling dari kolong rumah panggung ke kolong rumah panggung lain untuk mendidik para perempuan. Mereka belajar menyulam, memasak, sampai membuat kue. Ia mempelajari hal-hal tersebut dari Ibu Ten Hove. Maria pun mendorong para perempuan yang sudah lihai untuk turut berbagi keterampilan mereka kepada sesama.
Inti Masyarakat
Menurut Maria, seorang ibu adalah inti dari rumah tangga yang juga menjadi inti di masyarakat. Mendidik anak menjadi bagian dari tanggung jawab seorang ibu dan hal ini membutuhkan kepandaian dan keterampilan. Sementara para perempuan di Minahasa saat itu tidak memahami inti tersebut. Hal ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan yang mereka miliki. Sebab itulah, Maria mendirikan Peran Organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT).
PIKAT berdiri pada tanggal 8 Juli 1917. PIKAT menjadi tempat belajar bagi kaum perempuan Minahasa, agar mereka dapat saling bergaul dan mengenal. Dengan berdirinya organisasi itu Maria mulai bekerja sekuat tenaga untuk mewujudkan cita-citanya. Maria Walanda yang serba sederhana pengetahuannya mampu menggunakan mass media, surat kabar, untuk propaganda cita-cita PIKAT. Sebagai langkah pertama cita-cita PIKAT, pada tanggal 2 Juli 1918 di Manado berdiri sekolah rumah tangga untuk gadis-gadis yaitu Huishoudschool PIKAT (Walanda, 1983).
Sekolah tersebut menampung gadis-gadis yang telah menamatkan pelajaran mereka di Sekolah Dasar. Guru-guru yang memberi pelajaran tidak mendapat gaji, kecuali kepala sekolah dan ibu pemimpin asrama. Untuk menambah pemasukan uang, maka Maria menjual hasil masakannya, kue-kue dan hasil pekerjaan tangan murid-murid sekolah PIKAT kepada para anggota dan para donatur. Di samping hasil-hasil yang telah tercapai itu banyak tantangan dan celaan yang harus terhadapi, tetapi Maria tidak menghiraukannya.
Berkat kerja kerasnya, PIKAT berhasil membuka cabang sampai ke Kalimantan dan Jawa. Kegiatan di organisasi ini diperkenalkan kepada masyarakat melalui karangan-karangan yang terbit dalam surat kabar. Usaha Maria membuatnya semakin diperhitungkan oleh Belanda. Kegembiraan memuncak ketika tahun 1920 Gubernur Jendral Van Limburg Sitirum beserta istrinya berkunjung ke sekolah PIKAT. Istri Guberur Jenderal sangat terkesan dengan perjuangan Maria sehingga ia menjadi donator dengan memberi uang untuk keberlangsungan PIKAT (Walanda, 1983).
Memperjuangkan Hak
Kerja keras Maria dalam memperjuangkan hak-hak perempuan patut mendapat apresiasi. Berkat kegigihannya, ia berhasil menjadikan perempuan berdaya. Adat yang melabeli perempuan hanya sebagai “kanca wingking” berhasil ia dobrak. Ketidaksetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan saat itu menjadi persoalan yang menggugah Maria untuk berjuang demi peradaban perempuan.
Untuk menghargai peranannya tersebut, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada 20 Mei 1969. Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, sekitar 15 menit dari pusat kota Manado.