Kepemimpinan Perempuan Perspektif Tafsir Maqashidi

kepemimpinan perempuan

Gender menjadi diskursus yang sering dibahas dalam berbagai diskusi. Menyajikan seperangkat sikap dan posisi peran yang terbentuk dari kehidupan sosial masyarakat melalui atribut maskulinitas dan feminitas. Sajian lain soal gender tidak hanya membahas perbedaan perempuan dan laki-laki tetapi lebih menekankan pada peran, fungsi, dan tanggung jawab baik di ranah domestik maupun publik; kepemimpinan perempuan, misalnya.

Dalam ranah tertentu, keduanya memiliki peran yang sama. Kesamaan ini muncul seiring berjalannya waktu bahwa di era sekarang bukan lagi menjadi sebuah keniscayaan perempuan memiliki kemampuan yang dapat mengungguli laki-laki baik dari segi intelektual, spiritual, serta finansial.

Permasalahan yang sering muncul bukanlah mengenai peran atau fungsi keduanya tetapi lebih pada ketidakadilan dari segi kultural maupun struktural. Tak ayal jika sekarang hak-hak perempuan banyak disuarakan untuk mendapatkan keadilan baik dalam ranah domestik atau publik. Tujuannya bukan untuk mengungguli ataupun memperebutkan posisi superioritas, akan tetapi untuk saling bekerja sama dan mendukung.

Tujuan tersebut akan menciptakan keluarga yang maslahat sehingga berimplikasi pada kehidupan bermasyarakat yang rukun. Namun, sekarang ini masih menjadi perselisihan mengenai posisi perempuan sebagai pemimpin. Pembahasan mengenai perempuan akan selalu menarik terutama dalam hal kepemimpinan bila melihat pelbagai perspektif, salah satunya Al-Qur’an.

Jika melihat dari disiplin ilmu tafsir Al-Quran pembahasan mengenai gender seringnya mengutip dari QS. An-Nisa ayat 34. Jika meruntut era mufasir mutaqadimin (dulu) hingga mutaakhirin (sekarang) QS. An-Nisa ayat 34 mayoritas mendapat tafsiran secara tekstual. Akibatnya penafsiran terlihat menjadi legitimasi teologis yang melarang perempuan menjadi pemimpin.

Berdasarkan riset terdahulu sanggahan mengenai penafsiran mufasir klasik tentang kepemimpinan perempuan dalam ayat tersebut bahwa secara kontekstual tidak melarang perempuan menjadi seorang pemimpin. Kata qowwamuna oleh mufasir klasik secara tekstual berarti sebagai pemimpin atau penguasa. Sehingga makna ayat terfokus pada pemahaman kebahasaan tanpa mengetahui konteks sosio-historisnya pada saat ayat tersebut turun. Pemaknaan yang salah dapat menciptakan pemahaman masyarakat yang salah juga.

Baca Lainya  Srikandi Putri Proklamator (3); Megawati Soekarnoputri: Magnet Politik Bung Karno dan Lokomotif Reformasi

Interpretasi Maqashid

Berbeda jika melihat perspektif penafsiran menggunakan metodologi tafsir maqashidi Abdul Mustaqim yang berbasis moderasi Islam. Metode ini mengungkap maqashid (hikmah, tujuan, maksud, signifikansi, dan dimensi makna terdalam) yang terdapat dalam sebuah teks. Sehingga penafsiran tidak kaku hanya stagnan pada makna teks saja, tetapi juga mempertimbangkan dinamika konteks dan maqashid guna merealisasikan kemaslahatan dan menolak kemudaratan.

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا ٣٤

“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Tinjauan dari segi kebahasaan di atas, kata ar-rijal sebagai bentuk jamak dari kata rajul artinya laki-laki. Ar-rajul memiliki derivasi kata yang tersebar di beberapa surah Al-Qur’an. Selain kata ar-rajul di dalam Al-Qur’an al-dzakar juga yang bermakna laki-laki.

Berbeda dengan ar-rajul yang selalu bersandingan dengan kata an-nisa, al-dzakar selalu bersanding dengan kata al-unsa. Sedang al-dzakar dan al-unsa sendiri dalam Al-Qur’an menunjukkan jenis kelamin seperti laki-laki atau perempuan. Sedangkan ar-rajul dan an-nisa bermakna laki-laki dan perempuan menurut gendernya.

Baca Lainya  Potret Kekuatan dan Kemandirian Sultanah Nahrasiyah

Tinjauan Lain

Adapun tinjauan ulumul quran dari asbab an nuzul turunnya ayat ini saat seorang istri mengadu pada nabi Muhammad saw. bahwa ia telah mendapat perlakuan tak adil yakni suaminya telah menampar wajahnya. Perempuan (istri) meminta kepada nabi untuk diperbolehkan kisas dan nabi menetapkan laki-laki (suami) mendapatkan kisas.

Asbab an nuzul memperlihatkan bahwa ayat ini sama sekali tidak menampakkan adanya penjelasan mengenai kepemimpinan perempuan. Banyak orang yang meyakini bahwa ayat ini berkaitan dengan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan sebab tidak menggali dari segi konteks historis ayat.

Apabila melihat konteks kepemimpinan masa sekarang, banyak perempuan yang kemampuannya setara bahkan lebih dari laki-laki dalam beberapa sektor. Pada masa inilah yang tidak terdapat pada masa nabi atas kepemimpinan perempuan. Apalagi semakin ke sini banyak feminis yang menyuarakan hak-haknya.

Akan tetapi perkembangan Islam hingga saat ini memberikan perubahan yang signifikan terhadap posisi perempuan. Perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk belajar hingga menempuh jenjang pendidikan tinggi. Dengan demikian, pertimbangan antara mafsadat dan maslahat kepemimpinan perempuan di era sekarang lebih menonjol pada maslahatnya. Mengapa demikian?

Sebab, jika kepemimpinan perempuan mendapat larangan secara penuh dapat menimbulkan ke-mafsadat-an dari pada kemaslahatan sebab banyak para feminis (perempuan) saat ini yang memiliki kontribusi besar dalam berbagai sektor. Selain itu, besar potensi terjadinya pertentangan dari pihak feminis untuk meyuarakan hak-haknya jika terjadinya pengekangan terhadap posisi perempuan dalam ranah publik.

Peran Setara

Menurut hemat penulis, laki-laki dan perempuan memiliki peran sama di mana keduanya menjadi penguat fondasi dalam masyarakat. Allah memberi keduanya hak, kehormatan, dan kewajiban (tanggung jawab) sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Adapun pertanggungjawaban kewajibannya kelak di hadapan Allah.

Baca Lainya  Dunia Tanpa Perempuan

Pemaknaan setara dan adil tidak semata-mata sama rata, sebab pengalaman biologis perempuan mustahil bagi laki-laki (mengandung, melahirkan, dan menyusui). Itulah yang dinamakan kodrat, berbeda dengan peran yang mana dapat sewaktu-waktu berubah menyesuaikan kondisi dan situasi.

Islam sendiri memberikan peluang pada perempuan untuk berkarya. Artinya perempuan memiliki kesempatan untuk berilmu mendapatkan pendidikan yang layak. Sebab dari sinilah perempuan yang berilmu dapat mengetahui hak dan kewajiban untuk memahami ajaran Islam dengan baik dan sempurna. Kelebihan yang dimiliki perempuan bukan berarti dapat menjadi superioritas terhadap laki-laki dan sebaliknya. Keduanya perlu untuk saling (mengahargai, menghormati, membantu, dan memenuhi kebutuhan) agar terciptanya keseimbangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *