Di berbagai tantangan ekonomi, mulai dari tekanan inflasi, ketidakstabilan pasar, hingga persaingan global yang semakin kompetitif, ada satu kekuatan ekonomi yang sering luput dari perhatian. Yakni ekonomi perempuan berbasis komunitas PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Di balik peran domestik dan sosialnya, perempuan Indonesia—terutama yang tergabung dalam PKK—telah terbukti menjadi ujung tombak ekonomi lokal, khususnya melalui pengelolaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Tulisan ini adalah refleksi dari diskusi yang berlangsung dalam kegiatan Sosialisasi Pokja UMKM dan Koperasi di Kecamatan Kartasura. Pengurus Tim Penggerak PKK bersama Para UMKM, ternyata memiliki potensi ekonomi perempuan yang tidak lagi sekadar pelengkap. Tetapi justru menjadi pondasi pembangunan ekonomi berbasis komunitas yang memiliki potensi sangat besar.
Sebagian besar pelaku UMKM di tingkat kelurahan dan desa adalah perempuan. Mereka memproduksi makanan tradisional seperti bebek goreng, nasi liwet, keripik emping melinjo, tahu kriuk, keripik daun singkong, hingga serabi solo. Semua dengan cita rasa khas yang berasal dari kearifan lokal. Namun, yang kerap menjadi masalah bukanlah kualitas produk, melainkan bagaimana masyarakat mengenalkan dan memasarkannya secara lebih luas.
Di sinilah pentingnya penguatan branding dan marketing, terutama bagi UMKM perempuan. Branding tidak bisa lagi termaknai sebagai logo dan warna semata. Namun, sebagai identitas dan persepsi yang melekat pada produk. Seorang ibu yang menjual emping, misalnya, bisa menyematkan cerita bahwa menggoreng produknya tanpa bahan kimia. Lalu berasal dari melinjo desa sendiri dan menjadi karya olahan hasil warisan keluarga secara turun temurun. Cerita seperti inilah yang membangun kepercayaan dan menjadi nilai jual produk di tengah pasar yang semakin homogen.
Strategi Sederhana
Dalam diskusi tersebut, kita membedah teori Marketing Mix 4P (Product, Price, Place, Promotion) yang oleh E. Jerome McCarthy (1960) populerkan dalam bukunya Basic Marketing: A Managerial Approach. Teori babon itu bisa secara mudah pelaku usaha perempuan terapkan dalam skala rumah tangga. Misalnya, Product: bagaimana mengembangkan varian rasa serabi atau emping dengan inovasi tanpa meninggalkan keaslian.
Price: menyesuaikan harga dengan segmentasi konsumen seperti pelajar, karyawan, atau wisatawan. Place: membuka peluang distribusi lewat kerja sama dengan toko oleh-oleh, layanan antar lokal, atau komunitas PKK ibu-ibu. Promotion: memanfaatkan media sosial sederhana seperti WhatsApp Business, status Facebook, atau media sosial lainnya.
Strategi 4P ini memang bukan barang baru, akan tetapi sangat relevan ketika menyesuaikannya dengan konteks perempuan PKK yang seringkali terbatas waktu dan akses. Pendekatan praktis justru menjadi kekuatan di tangan perempuan, strategi ini bisa menjelma menjadi gerakan ekonomi kolektif yang berdampak besar.
PKK sejatinya bukan sekadar organisasi sosial, melainkan jaringan struktural yang memiliki akses ke hampir setiap rumah tangga di Indonesia. Melalui sedikit penguatan kapasitas dan literasi ekonomi, PKK bisa menjadi ekosistem bisnis lokal yang menggerakkan banyak hal: produksi, distribusi, edukasi pasar, hingga advokasi sertifikasi halal dan PIRT.
Gerakan Ekonomi Perempuan Kreatif
Salah satu langkah konkret yang muncul dalam kegiatan di Kartasura adalah pendataan produk unggulan dari masing-masing kelurahan dan desa. Langkah ini tidak boleh berhenti di data, tetapi harus lanjut dalam bentuk katalog UMKM digital dan cetak. Tidak hanya memperkenalkan produk tetapi juga mengangkat wajah dan kisah perempuan di balik produk tersebut.
Lebih dari itu, branding kolektif seperti “Produk Binaan PKK Kartasura” akan menjadi label kepercayaan baru di tengah masyarakat. Bayangkan jika setiap paket nasi liwet atau keripik emping terkemas dengan stiker tersebut—bukan hanya menjual rasa, tapi juga misi sosial dan kebanggaan loKal bagi Masyarakat Kartasura.
Sudah waktunya kekuatan ekonomi perempuan berbasis PKK ini difasilitasi secara lebih sistematis. Pemerintah daerah dan lembaga pendidikan tinggi harus bersinergi dalam membangun pelatihan berkelanjutan, pendampingan bisnis, akses permodalan, hingga ekspansi pasar berbasis digital.
Gerakan ini tidak harus muluk-muluk. Justru dengan menjaga kesederhanaan dan kearifan lokal, UMKM perempuan akan mampu menjawab tantangan zaman—dengan cara yang lembut, inklusif, dan penuh empati. Bukankah hal demikian menjadi kekuatan khas perempuan?.
Jika ekonomi nasional ingin kokoh, maka fondasinya harus dimulai dari yang paling dasar: rumah, dapur, dan perempuan. Akhirnya PKK, dalam hal ini, menjadi simpul strategis yang tidak boleh diabaikan.[]