Eksistensi Ketimpangan Perempuan dalam Film

Dalam hidangan pelbagai karya, kita mengenal istilah alih wahana. Begitupun dalam karya sastra. Alih wahana saban tahun terus menjadi sorotan lalu lintas perbincangan. Karya sastra kerap menjadi objek alih wahana menjadi sebuah film (terlayar lebarkan). Bertema cinta, ironi, komedi, hingga ketimpangan.

Banyak novel, puisi, cerpen dlsb telah teralih wahanakan menjadi tontonan. Karya sastra mengubah wujudnya menjadi sekumpulan audio-visual, bukan hanya teks semata. Dalam pada itu, dalam tulisan ini saya hanya memokuskan eksistensi kisah perempuan dalam sorotan alih wahan novel menjadi film.

Pada tahun 2007, pengarang kerap membawa tema keislaman dan pesantren bernama Habiburrahman El Shirazy—atau karib tersapa Kang Abik—menggemparkan jagat sastra Indonesia. Ia menulis novel ampuh berjudul Ketika Cinta Bertasbih dua jilid sekaligus. Selang dua tahun kemudian, novel beralih wahana menjadi film dua jilid. Film Ketika Cinta Bertasbih (2009) konon sebagai titik awal perfilm Indonesia bangkit.

Pernikahan yang Menyakitkan

Pengisahan dalam film mengarah pada sebuah adegan menyakitkan bagi Anna Althafunnisa (tokoh utama) saat Furqan Andi Hasan mengatakan ia terinveksi HIV. Kalau-kalau Furqon kasihan dengan Anna dan tak menuruti nafsunya, ia seharusnya tak menikahi Anna. Namun, di situlah letak konflik yang terbutuhkan dalam sebuah karya sastra.

Pesan dapat terambil dari penggalan novel ini ialah terkadang pada realitasnya, mesik tak semua, lelaki tak memerhatikan sebab-musabab lain dari keputusannya untuk menikahi seseorang. Bahkan seberuntung Furqon sebagai anak konglomerat pun tak berpikir akibatnya. Hingga pada akhirnya ia jujur pada Anna, istrinya. Kala mendengar pengakuan suaminya itu, hati Anna bagai teriris pisau, sangat perih dan sakit.

Pada akhirnya, Anna meminta Furqon menceraikannya. Furqon tak berdaya, ia penuhi permintaan Anna—yang setelah ia kecup sebagai syarat perpisahan sudah bukan menjadi istrinya lagi. Kisah ini menyiratkan sedikit pesan bahwa pernikahan yang menyakiti salah satunya itu sama sekali tak terbolehkan oleh syariat. Ketimpangan seperior perlahan Anna terima lewat perlakuan Furqon.

Baca Lainya  Keluarga: Perihal Gender dan Kesadaran

Tentu pengisahan ini Anna, sebagai perempuan, menjadi korban kesewenang-wenangan Furqon, seorang lelaki, mantan suaminya. Dengan tega saat ia sadar terjangkit virus itu tapi malah meneruskan menikahi Anna. Walaupun virus tersebut tak Furqon dapatkan lewat zina, melain ia terjerat jebakan oleh seorang perempuan dengan perasan tebusan sejumlah uang, namun sesiapun yang mengetahuinya ia bakal tetap sakit.

Dengan tegar, selama enam bulan pernikahannya Anna tahu alasan mengapa Furqon tak menunaikan tugasnya sebagai suami. Virus itulah yang menjadi sebab mengapa Furqon terus menyiksa Anna setiap kali mereka akan berhubungan. Inilah yang Anna maksud dalam salah satu adegan bahwa pernikahan mereka ini termasuk haram sebab Furqon telah mendustainya, keluarganya, dan seluruh undangan yang hadir pada saat pernikahannya.

Niatan Menolong

Lain cerita dengan novel Ketika Cinta Bertasbih (2007) Kang Abik, pada 2015 tayang film berjudul Surga yang Tak Dirindukan. Film terangkat dari novel berjudul sama karya Asma Nadia. Titik klimaks konflik film terjadi saat Arini mengetahui Prasetya—suaminya—telah menikahi seorang perempuan lain bernama Mei Rose. Padahal Arini memiliki rekam jejak menyakitkan ihwal hubungan rumah tangga. Selama belasan tahun ayahnya menyembunyikan istri keduanya dari ibunya. Ayahnya selama itu secara diam-diam melakukan poligami.

Padahal Pras menikahi Mei Rose demi menyelamatkan nyawanya saat akan bunuh diri. Mei Ros gagal menikah sebab lelaki yang telah menghamilinya meninggalkannya di hari pernikahannya. Ia akhirnya depresi dan berniat mengakhiri hidupnya lewat bunuh diri. Namun, Pras menyelamatkannya dengan syarat ia harus menikahi Mei Ros.

Konteks konflik dalam film garapan Kuntz Agus memang paradoks ketimpangan. Satu sisi Pras menyelamatkan nyawa seseorang, Mei Ros, tetapi ia juga sekaligus melukai istrinya, Arini. Sorotan pesan kembali mengarah pada Arini, seorang perempuan, yang mau tak mau ia mesti rela suaminya berbagi kebahagiaan dengan wanita lain. 

Baca Lainya  Kepemimpinan Perempuan Perspektif Tafsir Maqashidi

Memaksakan Poligami

Senada dengan film Surga yang Tak Dirindukan (2015), Amrul Ummami membuat film berjudul Perjalanan Pembuktian Cinta (2024) dari novel karya Nusaibah Azzahra. Film mengisahkan seorang perempuan remaja sehari-hari mengajar di sebuah pondok pesantren tiba-tiba harus menikah dengan seorang lelaki bernama Satya, orang pilihan abinya (baca: bapak). Padahal Satya telah memiliki istri dan umurnya tak berbeda jauh dengan abinya.

Fathia tak berdaya saat abinya keukeuh ingin menikahkannya dengan Satya. Abinya semata tergiur dengan tawaran bantuan dana agar abinya bisa mendirikan pondok pesantren sendiri. Nafsu semata abinya itu harus rela mengorbankan anak perempuannya dinikahi lelaki sudah beristri. Konflik memuncak saat Fathia tahu bahwa pernikahannya dengan Satya tak pernah diketahui oleh istri pertama Satya. Padahal Fathia sudah mengajukan syarat agar sebelum menikahinya, Satya mesti memberi tahu istrinya terlebih dahulu.

Beberapa bulan berjalan, pernikahan mereka terendus oleh Helen, istri pertama Satya. Helen melabrak Fathia bahwa pernikahannya dengan Satya tak sah secara hukum. Sebab Helen tak pernah dan tak aka pernah memberikan izin poligami pada Satya. Helen menyebut hubungan mereka dengan zina. Sah menurut agama tetapi tidak menurut hukum. 

Menerima ancaman Helen, Fathia harus menjauhi Satya dan menjauhi rumah tangga mereka. Fathia merasa sakit serta seolah dijebak pada sebuah ketimpangan sebuah keadilan. Tak lama, Satya pun konon meninggal dunia di saat Fathia tengah mengandung anaknya. Lengkap sudah penderitaan Satya dalam menghadapi gejolak pelbagai ketidakdilan yang ia terima. Mulanya abi memaksanya untuk menikah, lalu suaminya berbohong, serta terpungkasi lewat keteracuhan oleh keluarga suaminya begitu saja. 

Dalam pada itu, beberapa adegan dalam tiga karya alih wahana di atas walau berawal dari sebuah karangan fiksi, namun memiliki siratan pesan yang dalam. Bagaimanapun juga setiap novelis merangkai adegan tersebut mesti memiliki pengalaman atau pernah menyaksikan adegan yang sama dalam kenyataannya. Maka, upaya penghadiran bagaiamana eksistensi ketimpangan perempuan dalam karya novel dan film ini pada dasarnya ialah wajah dari kisah-kisah realitas yang ada.

Baca Lainya  Dangdut dan Goyangan: Stigma Budaya Perempuan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *