Dilema Peran Ganda: Pekerjaan Domestik dan Karier

peran ganda

Dilema peran ganda perempuan dengan segala hiruk-pikuknya menjadi topik unik dan menarik yang tidak ada habisnya. Sebagian laki-laki memandang bahwa perempuan adalah makhluk yang unik jika memperhatikan gejolak emosional dan rasionalnya. Meskipun pada realitanya, tidak jarang pula ada laki-laki yang memiliki dua hal itu.

Membahas perempuan, tidak terlepas dari peran dan kontribusinya dalam kehidupan. Tanpa perempuan, secara kodrati, laki-laki tidak akan mendapatkan keturunan, sehingga dalam hal ini perempuan memiliki andil lebih kuat dari pada lelaki.

Perempuan lebih banyak memiliki peran dalam rumah tangga. Misalnya, laki-laki sangat jarang melakukan pekerjaan domestik. Hal ini berasaskan dalih ”tugas laki-laki adalah mencari nafkah, sedangkan perempuan di rumah dan melayani suami”. Interpretasi “melayani” selalu terbesit pada istilah 3M (macak, manak, dan masak). Macak artinya bersolek atau dandan, manak adalah melahirkan, dan masak yaitu memasak.

Ruang perempuan terlalu sempit jika hanya melihat 3M tadi. Masih banyak masyarakat yang belum bisa membedakan antara peran dan kodrat. Seperti halnya menyusui dan melahirkan adalah kodrati, tetapi memasak, mengasuh, dan membesarkan anak bukanlah hal kodrati, di mana laki-laki pun dapat melakukannya.

Minimnya pemahaman dapat berimplikasi pada kurang setaranya gender. Bahkan mengakibatkan diskriminasi perempuan, karena seolah-olah perempuan hanya pantas menempati belakang panggung maupun punggung laki-laki.

Akan tetapi, setelah berkibarnya bendera kaum feminisme lewat upaya penyetaraan gender, banyak perempuan tak lagi terkungkung di rumah, tetapi sudah memiliki ruang kontestasi di ranah publik. Misalnya perempuan yang bekerja sesuai bidang dan keinginannya, merasa cukup untuk mengurangi kejenuhan terhadap pekerjaan domestik.

Sisi lain dari maraknya kampanye feminisme yakni banyak dilema psikologis yang perempuan rasakan. Mulai kurangnya mendalami peran sebagai seorang ibu rumah tangga sampai mengambil keputusan menjadi wanita karier. Atau bahkan, terjadinya perbedaan pemahaman antara peran dan kodrat oleh laki-laki. Akibatnya, banyak gejala-gejala patologis yang terjadi.

Baca Lainya  Fatimah Mernissi: Feminis Muslim Pejuang Reinterpretasi Teks Islam

Peran Ganda

Sebagaimana paparan Newman (2005) konflik peran ganda merupakan masalah yang muncul ketika seseorang memiliki peran lebih dari satu pada waktu bersamaan. Sehingga dalam konteks ini terdapat crash antara keluarga dan pekerjaannya. Tidak bisa terelakkan, bahwa manusia tidak dapat  seimbang dalam segala hal, akan ada salah satu hal yang mendominasi, yang sejauh itu terlihat lebih penting.

Sigmund Freud memperkuat bahwa manusia memiliki ide, ego, dan superego yang saling mendominasi. Hal ini yang menimbulkan perlakuan-perlakuan yang berefek dari dorongan atau hasrat. Dengan demikian, perempuan yang jenuh dengan pekerjaan domestik akan memilih jalan untuk berkarier.

Perempuan yang memilih berkarier sekaligus menjadi ibu rumah tangga banyak berlatarbelakang dalam segi sosial maupun psikologisnya, di antaranya: 1) status sosial, seseorang yang bekerja akan memperoleh kebanggaan atas apa yang ia raih, 2) kesempatan, era sekarang dunia kerja banyak membutuhkan tenaga perempuan, berbeda dengan zaman dahulu, 3) jenjang karier, setelah menyelesaikan kuliahnya, pekerjaan merupakan tahap lanjutnya, dan 4) ekonomi, menjadi alasan yang dominan, yakni sebagai upaya menyejahterakan keluarga.

Konflik Peran Ganda

Faktor yang memmengaruhi konflik peran ganda  menurut Stoner et al. (1990) salah satunya adalah time pressure di mana seseorang semakin banyak meluangkan waktu untuk bekerja maka semakin sedikit waktu untuk keluarga. Sehingga banyak ruang domestik yang terbengkalai, akibatnya kerap jadi alasan dan bahan konflik dalam rumah tangga.

Hal tersebut akan berdampak pada banyak anggota keluarga, terutama kurang dominannya peran perempuan sebagai ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Pun berkurangnya waktu untuk pasangannya, mampu mengikiskan harmonisasi keluarga.

Akan tetapi, jika dilihat dari faktor pendorongnya, perempuan lebih banyak memilih bekerja karena ingin mengoptimalkan potensi dan pengetahuan yang didapat dari pendidikan yang tempuh. Misalnya mencari kesenangan (hobi), sehingga terciptanya kebanggaan tersendiri dalam dirinya.

Baca Lainya  Menggugat Perilaku Asusila Guru terhadap Murid

Selain itu, perempuan juga mematahkan stigma di masyarakat tentang 3M. Karena sudah sangat banyak perempuan yang berpendidikan tinggi sekaligus berkarier tetapi tidak membuatnya takut untuk menikah dan memiliki keluarga, sehingga perannya sebagai ibu rumah tangga dapat beriringan sebagai seorang istri yang berkarier dalam membantu perekonomian keluarga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *