Ada beberapa hal yang bagus dan tidak bagus dalam film Sore: Istri dari Masa Depan (2025) garapan Yandy Laurens. Adegan “Hai, saya Sore, istri kamu dari masa depan,” berulang-ulang. Bagi sebagian penonton (mungkin), saya khususnya, adegan itu membikin bosan. Namun, tulisan ini tak bakal mengupas Sore secara teknis, melain berusaha menyoroti bagaimana hal-hal lain yang melatarinya.
Sejenak agak melipir, saya cenderung bersemangat manakala menonton film-film Indonesia bertema sosial-keluarga. Betapa film itu amat rugi jika saya melewatkannya. Salah dua yang mutakhir saya tonton yaitu: Home Sweat Loan (2024) dan Budi Pekerti (2023). Intimitas konflik sosial yang terangkat begitu nyata dalam lelaku keseharian kita. Bagaimana rumah secara dzatiyah tak mampu memberi rasa aman musabab faktor terdekat di dalamnya dalam HSL. Sedang di BD, medsos terlalu ikut campur dalam kehidupan kita.
Berbeda dengan Sore, walau terbangun dari historis keretakan keluarga justru Yandy menampilkan banyak konflik Jonathan—sang tokoh utama—dengan segal traumanya. Dalam hal berurusan dan penyelesaian trauma ihwal keluarganya senyatanya Jonathan belum selesai. Ia terus mencari—atau bahkan menciptakan—penghindaran atas apa yang semestinya ia selesaikan. Ayahnya, yang sejak ia balita, meninggalkan ibu, kakak, dan dirinya dengan memilih perempuan lain.
Luka Keluarga
Dampak ketakharmonisan keluarga berujung perpisahan orang tua Luh Surini Yulia Savitri dedahkan dalam buku Pengaruh Perceraian pada Anak (2011). Bahwa secara psikologis, anak korban perceraian biasanyamenjadi lebih ribut, lebih pemarah, dan seperti tidak kehabisan energi sehingga selalu bergerak. Ada juga anak yang menarik diri dari teman-temannya dan lebih suka duduk sendiri.
Demikian itu sekilas terjadi pada Jonathan, memilih tinggal jauh di negeri orang, berpisah dari ibu dan kakaknya. Tak secara implisit dijelaskan apakah ingin menyusul atau mencari ayahnya? Jelasnya, ia pergi dari rumah mencari sebentuk ketenangan, yang padahal ia menafikan segala hal mesti terselesaikan.
Sampai pada waktunya, dalam sebuah pagi di bangun tidurnya, ia menemukan Sore terselonjor di samping di tempat tidurnya. Sore mengaku istrinya di masa depan. Dan, kehadiran Sore ingin membuat hidupnya lebih baik. Tentu ini ilusi. Meminjam konsep pembagian waktu dalam ilmu nahwu, bagaimana mungkin skenario zaman hal (sekarang) didikte dan diramalkan oleh zaman istikbal (mendatang).
Sore bagi Jonathan adalah bayang ilusi dari kebaikan malaikat tak bersayap. Namun, ia bukan juga semacam surealis, ia berwujud nyata menenami keseharian Jonathan. Bahkan, dalam beberapa adegan, saran Sore manjur kala memilih jepretan foto yang bakal Jonathan serahkan pada Marko. Peristiwa itu menjadi pintu keberterimaan Jonathan akan adanya ilusi Sore dalam hidupnya.
Sore lantas berjanji ingin mengubah hidup Jonathan lebih baik asal menuruti segala sarannya. Perlahan kebaisaan Jonathan yang bagi Sore buruk ia tertibkan. Menghanguskan rokok dan membuang minuman beralkohol. Pun, di pagi hari, Sore mengajak Jonthan berolahraga; lari-lari ringan.
Penghadiran Cinta
Hebatnya, film ini berhasil mencipta ilusi baik akan perubahan positif tokoh utamanya. Namun, namanya juga kisah, mesti ada konflik di dalamnya. Jonathan pada suatu waktu melanggar saran Sore untuk menjauhi kebiasaan buruknya itu. Sebab masih menampung banyak pikiran, ia tak bisa tidur. Jalan penenangnya ialah menyulut sebatang rokok. Sore tahu hal itu, dan dari sanalah adegan perkenalan Jonathan dengan ilusi Sore kembali ke titik awal. Terjadi terus-menerus manakala Jonathan melanggar saran Sore.
Pada titik ini, keberterimaan trauma Jonathan akan hadir bayang ilusi Sore yang positif membawanya pada kebimbangan. Pemufakatan apakah mesti hidup dengan terus menanggung beban trauma, atau menjalani saran ilusinya untuk perlahan menuntaskan masalah-masalahnya selama ini. Betapa pilihan dalam lintasan hidup Jonathan itu amat berat. Bahwa hadirnya Sore yang konon tercap sebagai istri dari masa depannya, bagi saya, adalah hal yang belum selesai.
Nyatanya, setelah Jonathan keluar dari bayang-bayang ilusi itu, di kehidupan nyatanya, ia dengan sadar menuruti saran Sore selama terhuyung dengan ilusi-ilusnya. Ia berhenti merokok dan minum. Berpisah dengan kekasihnya, Elsa, karena beda visi dan tujuan. Pulang ke rumah, menengok ibunya, dan berolahraga pagi bersamanya. Lalu memberanikan diri bertamu ke rumah ayahnya.
Jonathan senyatanya telah berhasil mendamaikan trauma-traumanya selama ini dengan pesan-pesan yang ilusi Sore berikan. Dan, kita semua juga sepertinya ingin seperti Jonathan. Di zaman hal ini, segala ramalan-ramalan masa depan diberitakan. Agar kita belajar dan mengambil hikmahnya. Namun, itu sepertinya hanya angan-angan dan ilusi semata. Tak bakal terjadi.[]

