Menakar Sistem Proporsional Tertutup dan Terbuka pada Pemilu di Indonesia

Jagad perpolitikan nasional baru-baru heboh dengan cuitan Deny Indrayana yang mengaku mendapat ā€œbocoranā€. Bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan pemulihan umum (pemilu) 2024 akan menggunakan sistem proporsional tertutup.

Kabar tersebut ia dapat dari orang kepercayaan Deny di MK. Bahkan, secara detail “orang kepercayaan” Deny menyebutkan bahwa 6 dari 9 hakim MK telah sepakat dengan sistem proporsional tertutup. Tak sedikit tokoh politik nasional yang memberikan respon atas cuitan Deny tersebut. Bahkan presiden ke enam, SBY, langsung memberikan tanggapan lewat akun twitternya.

Senada dengan pandangan Deny Indrayana tentang sistem proporsional tertutup, SBY mempertanyakan kepada MK apakah sistem proporsional terbuka bertentangan dengan konstitusi? Bahkan SBY dalam cuitannya juga menyaksikan kewenangan MK. Bagi SBY, wilayah domain MK bukan pada menetapkan sistem pemilu yang tepat namun lebih pada sebuah undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak.

Tulisan ini tidak akan masuk pada ranah domain hukum MK, namun akan berfokus pada dua sistem pemilu legislatif dengan metode proporsional terbuka dan proporsional tertutup. Dua sistem ini sejatinya pernah terpakai dalam pemilu legislatif di Indonesia.

Proporsional tertutup tergunakan sebelum Reformasi 1998. Di mana dalam implementasinya, rakyat hanya memilih partai politik tanpa bisa menentukan pilihan calon legislatif DPR ataupun DPRD pada partai tersebut. Dalam bahasa kalangan kontra sistem proporsional tertutup, rakyat seperti memilih kucing dalam karung. Namun, pascapemilu 1999, rakyat dapat menjatuhkan pilihan calegnya secara bebas dalam surat suara.

Surat suara bukan hanya akan memuat nomor urut dan tanda gambar partai, tapi juga memuat nomor urut dan nama caleg usungan partai. Namun, pada Pemilu 2004 melalui UU No. 12 Tahun 2003, hal itu masih terlaksana melalui penerapan sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup. Di mana caleg akan menduduki kursi yang partai peroleh apabila mendapat suara sejumlah kuota satu kursi yang masyhur tersebut bilangan pembagi pemilih (BPP).

Menimbang Sistem

Secara umum sistem proporsional tertutup merukapan sistem pemilihan untuk calon legislatif dengan hanya memilih atau mencoblos gambar partainya saja. Selanjutnya partai secara otoritatif akan menentukan caleg yang akan masuk menjadi anggota legislatif. Sistem ini tergunakan pada pemilu 1999 dengan dasar hukum UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

Sistem Proporsional Tertutup memiliki beberapa kelebihan. Pertama, partai sebagai lembaga politik memiliki otoritas untuk menentukan individu caleg untuk menjadi representasi partai dan kelompok masyarakat. Sehingga partai politik memiliki garis intruksi yang kuat dalam mengawal kadernya yang menduduki kursi legislatif.

Baca Lainya  Peran Perempuan dalam Rangkaian Transmisi Hadis Pra-Kodifikasi

Di kalangan pendukung, sistem proporsional tertutup, sistem pemilu dengan sistem suara terbanyak (proporsional terbuka) menghadirkan caleg-caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan uang yang tebal, sehingga apabila caleg tersebut lolos menjadi anggota legislatif terkesan mewakili individu bukan ke lembagaan partai.

Pendapat yang lain terajukan para pemohon yakni Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono Pemohon Perkara NomorĀ 114/PUU-XX/2022 uji materiil UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Soal Biaya

Para pemohon berpendapat bahwa pasal-pasalĀ a quoĀ telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini bakal melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Meskinya konpetisi terjadi antarpartai politik di arena pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. (mkri.id)

Kedua, sistem proporsional tertutup akan menekan biaya politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ongkos politik bagi seorang caleg baik daerah maupun pusat sangatlah mahal. Bahwa beberapa hasil riset biaya minimal yang harus tersiapkan seorang caleg saat menghadapi pileg adalah Rp1-2 miliar untuk DPR RI, Rp500 juta sampai Rp1 miliar untuk DPRD Provinsi dan Rp250-300 juta untuk DPRD kota/kabupaten. Itupun belum tentu para caleg lolos menduduki kursi legislatif.

Ketiga, salah satu bagian yang menjadikan biaya politik caleg besar adalah adanya praktek politik uang/money politic. Sistem proporsinal tertutup tergadang dapat menjadi solusi atau mekanisme untuk menekan dan menutup praktik politik uang di level pemilih.

Kekurangan Proporsional Tertutup

Pertama, rakyat tidak bisa memilih langsung caleg yang nantinya akan mewakilinya pada lembaga legislatif. Interaksi caleg dengan warga akan relatif terbatas, karena motivasi caleg akan berkurang dan terkikis, terlebih caleg dengan nomor urut terakhir.

Sistem proporsional tertutup menjadikan ā€˜transaksi politik’ bersirkulasi di internal partai, sehingga peluang warga untuk ā€˜berkontrak politik’ dengan para caleg menjadi sempit. Ruang interaksi dan aspirasi warga berkurang.

Kedua, caleg yang terpilih akan minim legitimasi dari warga. Hal ini karena pemilih hanya mencoblos gambar partai dan partai yang akan menentukan siapa yang akan menduduki kursi legilatif. Warga yang memilih partai X berharap caleg Y mampu menjadi penyambung aspirasinya, namun keputusan partai X menetapkan caleg Z sebagai caleg terpilih, sehingga legitimasi caleg Z akan lemah di hadapan warga.

Baca Lainya  Perjalanan Muslimah, Mobilitas, dan Nilai Islam

Ketiga, sistem proporsional tertutup mendapat anggap menutup arus demokrasi yang sudah terbuka lebar pascareformasi. Dalam sistem proporsinal tertutup, warga tidak dapat bebas memilih caleg yang mereka anggap mampu merepresentasikan kepentingannya.

Pemilih harus menyerahkan sebagian haknya kepada partai untuk menentukan individu caleg yang akan mewakilinya. Dengan bahasa lain, sistem ini memungkinkan terciptanya pasar gelap dalam tubuh demokrasi, di mana akan terdapat kesepakatan/konsensi elit di dalam partai. Begitu juga dengan sistem proporsional terbuka, sistem ini juga tidak terlepas dari plus-minus dalam konteks implementasi.

Nilai Lebih

Sedangkan sistem proporsional terbuka memiliki sekian kelebihan. Pertama, sistem ini teranggap paling memenuhi standar demokrasi. Di mana pemilih dapat memilih caleg secara langsung dan bebas. Syarat mutlak pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat mewujudkan wakil rakyat terpercaya dan dapat menjalankan fungsi lembaga legislatif secara optimal.

Kedua, intensitas interaksi caleg dan warga akan meningkat. Bahkan pascaterpilih, anggota legislatif memiliki tanggung jawab moral terhadap konstituennya/pendukungnya. Interaksi dalam pengertian yang positif dapat menjadi jembatan bagi rakyat untuk secara lugas menyampaikan aspirasi dan kepentingannya.

Ketiga, legitimasi caleg terpilih relatif kuat di kalangan masyarakat. Dengan memilih caleg secara langsung, tingkat keterwakilan masyarakat terhadap caleg terpilih akan meningkat. Sehingga peluang akses masyarakat untuk memperjuangkan dan pemehuhan hak-hak sosial-ekonomi akan terbuka.

Terbuka Sistem Bopeng

Sementara sistem proporsional terbuka memiliki kelemahan. Yakni, pertama, partai akan mengalami pengikisan nilai ideologisnya. Yusril Ihza Mahendra dalam sidang pleno MK Ā Perkara NomorĀ 114/PUU-XX/2022 menilai, keterpilihan suara terbanyak yang terusung oleh sistem proporsional terbuka secara langsung telah mengubah medan permainan pemilu yang seharusnya menjadi medan pertarungan program gagasan atau ide menjadi pertarungan orang-orang terkenal dan berkemampuan finansial. Karena kader terkenal dan berkemampuan finansial ini menjadi magnet dari partai demi meraih suara terbanyak.

Maka tidak jarang jika partai tidak mampu atau bahkan ragu untuk melakukan pembinaan dalam bentuk pengawasan atau kontrol. Bahkan sekedar melakukan penindakan atau menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kader-kader popularnya. Pun berkemampuan finansial tersebut semata-mata karena basis masa besar dan berkemampuan finansial di baliknya yang sewaktu-waktu teranggap dapat merugikan kepentingan partai. Akibatnya partai maju mundur dalam melakukan pembinaan dan menjalankan fungsinya. (mkri.id)

Kedua, biaya politik mahal. Kondisi tertandai dengan akan semakin agresifnya para caleg untuk mendulang kantong-kantong suara dengan berbagai kompensasi. Sehingga hal ini juga akan membuka potensi untuk terjadinya politik uang/money politic.

Bahkan transaksi politik (jual-beli suara) tidak hanya pada level pemilih, tetapi juga akan dapat merambah pada penyelenggara pemilu. Ini adalah konsekuensi dari para caleg akan ā€˜mengamankan’ suaranya masing-masing untuk dapat kuantitas suara dalam 1 kursi di dapilnya.

Baca Lainya  Aestehtic: Pemberdayaan Perempuan melalui UMKM

Ketiga, sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak membuka potensi terjadi konflik caleg di internal partai. Dalam sistem ini menjadi medan pertempuran bebas para peserta pemilu baik itu caleg antar parpol, dan juga caleg sesama parpol.

Menjaga Komitmen

Baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kedua sistem akan berjalan dengan adil dan baik ketika bertumpu pada basis moralitas politik yang baik pula. Moral etik politik menjadi modal yang kuat ketika dapat dapat menerjemahkan tujuan politik itu sendiri dalam institusi negara.

Seperti halnya Henry J. Schmandt dalam bukunya Filasafat Politik, merangkum pemikiran Plato tentang tujuan negara. Bahwa negara muncul karena ketidakcukupan individu untuk menyediakan kebutuhan baginya. Negara perlu untuk menetapkan pembagian kerja yang akan membawa keuntungan material semakin tinggi bagi individu.

Melalui pendidikan dan promosi seni dan ilmu pengetahuan, negara berupaya keras untuk membantunya dalam pengejaran intelektual dan kultural, dan melalui hukum-hukumnya negara berupaya untuk membimbingnya dalam jalan kebajikan moral. Tugas utama negara, sebagaimana yang Plato impikan, adalah untuk mengarahkan kehidupan manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan.

Sehingga sistem apapun yang tergunakan, harusnya bertumpu pada moralitas negara untuk menyejahterakan warga negaranya. Namun, memang dalam ruang implementasi akan terjadi benturan-benturan teknis yang tak lepas dari kondisi yang ada. Secara empiris harus terakui bahwa tujuan ideal bernegara harus bergesekan dengan nuansa bias politis.

Di sisi yang lain, memang harus ada komitmen kuat secara bersama atau masif untuk menjaga marwah, martabat, integritas demokrasi pada lembaga-lembaga negara baik itu dari penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan peserta pemilu untuk menjadikan pemilu ini sebagai ajang pendidikan moral etika berbangsa. Sehingga hasil dari rangkaian Pemilihan Umum 2024 nantinya dapat merepresentasikan kekuatan nilai-nilai Pancasila dalam pemilihan umum di Indonesia.

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di kumparan.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *