Keluarga, Penghasilan, Degradasi Kelas Sosial

Sumber Gambar: istockphoto.com

Keluarga adalah ruang terkecil dalam lingkup sosiologis manusia. Ada fragmentasi tugas dan peran yang dibuat melalui kesepakatan atau budaya. Bapak bekerja, ibu mengurus rumah, misalnya. Ada juga bapak-ibu bekerja, menjaga rumah tanggung jawab keduanya. Semacam ada harmonisasi antaranggota keluarga dalam usaha menyejahterakan lingkusan sosial terkecil mereka.

Ruang publik, seturut pendapat KH. Husein Muhammad, adalah panggung yang dapat laki-laki dan perempuan manfaatkan guna menggali-kembangkan potensi kemanusiaan. Betapa terbuka sesiapun bisa mengaryakan ruang itu, termasuk urusan bekerja. Pada hakikatnya, suamilah (lelaki) yang mendapat tampuk mencari nafkah. Tapi lain soal, jika istri (perempuan) ikut terlibat dengan maksud menyokong fondasi finansial keluarganya. Demikian itu, menjadi hal yang, bagi saya, amat luar biasa.

Sementara, di luar-luar urusan bekerja, urusan rumah misalnya, pun kita mendapati beragam versi. Dua faktor tadi (budaya dan kesepakatan) yang melatarinya. Ragam penyerahan merawat rumah tangga terlatari budaya menjadi peran dan tugas ibu itu jamak kita temui. Dan, senyata jelas praktik ini mendapat kritik tajam dari beberapa orang penganut feminisme. Lian cerita manakala ragam tadi muncul dari kesepakatan antarkeduanya (suami-istri), yang menandakan ada kesukarelaan dalam berbagi tugas di dalamnya.

Dalam peristiwa mutakhir (terhitung Juli 2025), puluhan istri berprofesi guru ASN dan PPPK di Blitar menggugat cerai suaminya musabab status pekerjaan keduanya terlampau timpang. Kita ambil satucontoh, alasan gugatan cerai itu terjadi, suami hanya bekerja sebagai kuli bangunan. Padahal, menurut catatan yang beredar, selama istri menempuh pendidikan strata satu sampai statusnya menjadi abdi negara, suamilah yang membiayai semuanya.

Lantas sikap istri, seorang guru bertitel pegawai negeri, yang ā€œmaluā€ memiliki suami seorang kuli dengan enteng mengajukan gugatan cerai apakah sebentuk laku realistis atau desersi ihwal moralitas finansial? Saya tak ingin mencampuri urusan rumah mereka, biarlah segala kemelut di sana mendapat penyelesaian adil dan penyikapan dewasa. Namun, jelasnya, poros bahasan yang naik ke muka pemberitaan, mengapa meski memakai momentum perbedaan kelas sosial (dalam hal ini menjadi abdi negara) untuk menyudahi jalinan dengan pasangan?

Baca Lainya  Roleplay dan Fatherless bagi Remaja Perempuan

Jalan Kemengertian

Dalam banyak kesempatan, saya berhadapan dengan pelbagai curhatan kakak tingkat perkara hubungan pernikahan mereka. Satu cerita datang, misalnya, ia meyakinkan kepada calon istrinya (sewaktu sebelum menikah) bahwa pekerjaannya begini, pengasilannya segini, dan ia harap istrinya menerima hal itu dan mau diajak untuk berjuang bersama. Atau cerita lain, dari awal mengajak ke jenjang serius, ia sudah blak-blakan soal penghasilan dan pekerjaan. Bagaimanapun dengan dua hal itu ia tak mau mengajak anak orang (calon istrinya yang mungkin sudah mapan dalam kehidupan keluarganya) untuk hidup sederhana. Lagi-lagi poin utamanya ialah berjuang bersama membangun keluarga yang mereka cita-citakan.

Pengertian-pengertian itu yang datang kepada dua calon istri (perempuan) kawan-kawan saya sebelum akhirnya mereka menikah. Dan, dalam pandangan dua kawan saya itu, istrinya menerimanya. Sorotan dari kisah dua kawan saya tadi di bagaimanapun kondisinya ia tetap bertanggung jawab dan jujur sekalipun soal penghasil tadi, misalnya, masih jauh dari keumuman. Hal yang saya salut dari mereka ialah selalu memegang prinsip ā€œcukupā€ dalam tiap rezeki yang mereka usahakan.

Betapapun biasa dan sederhana pekerjaan suami, istri mesti mendukungnya sebagai wujud moralitas. Sedikit-banyak rezeki mesti tersykuri. Apalagi jika istri, dalam konteks menjadi guru ASN dan PPPK di Blitar, secara kelas sosial, pekerjaannya lebih tinggi dari suami yang hanya kuli. Itu harusnya dimaknai sebagai wujud kolaborasi antarkeduanya. Nasib baik suami tak gengsi melihat istrinya bekerja, secara kelas, lebih tinggi darinya, sehingga tak berbuntut menalaknya. Ini malah kebalik, istri yang kurang bersyukur. Malah mendefisitkan perjuangan-perjuangan suami yang selama ini terbangun.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *