Eksistensi Peran Perempuan Pesantren

Sumber Gambar: lendoot.com

Perempuan sebagai makhluk istimewa seringkali memiliki problematik hidup lebih rumit alih-alih laki-laki. Tuhan menciptakan peribadinya dengan tingkat kasih dan perasaan sensitif lebih tinggi. Tidak hanya soal perasaan, tubuh mereka pun terancang sedemikian rupa sebagai “Ibu Peradaban” yang menanggung beban reprdosuksi lebih besar, hingga nyawa menjadi taruhannya.

Dari segi kondisi tubuh dan fisiknya, perempuan mengalami dua siklus; prareproduksi dan pasca reproduksi. Keduanya merupakan keadaan sangat berat dan menyakitkan. Mulai usia sembilan tahun ke atas mereka mengalami haid. Saat haid itu mereka akan merasakan nyeri di bagian rahim.

Belum lagi permasalahan siklus keluar darah yang tidak normal seperti istihadah. Saat melakukan hubungan seksual acapkali ia akan mengalami kesakitan. Lalu melahirkan dengan keadaan yang wahnan ala wahnin. Menyusui, nifas, dan melahirkan kembali. Begitu seterusnya.

Ironisnya, ketika kaum hawa membutuhkan pencerahan pemahaman mendalam dari kondisi-kondisi yang teralaminya, mereka merasa belum menemukan tempat cerita yang pas. Pada saat itu, mereka seakan menerima kondisinya, padahal, kondisi menyakitkan tersebut akan lebih ringan jika kita bertukar pengalaman atau pendapat dengan seseorang yang bisa memahami kita lantaran persamaan kondisi. Sebab dunia masih terdominasi pemahaman patriarkis yang menjadikan ustaz laki-laki dengan pemahamannya lebih menonjol hadir. Sedangkan mereka tidak pernah mengalami apa yang para perempuan alami.

Pemahaman Kompleks

Karena minimnya ilmu-ilmu, yang sejatinya, sangat penting terebarluaskan terkait organ reproduksi perempuan, maka ia harus cerdas dengan mencari tahunya sendiri. Hal pertama harus terlakukan adalah memperhatikan kondisi tubuh. Mulai dari kebiasaan haid, stamina, kelemahan dan kelebihan fisik, hingga hal-hal paling remeh sekalipun, seperti memperhatikan apakah mengalami keputihan atau tidak dalam satu hari itu.

Baca Lainya  Kekuatan Kata "Tidak"

Memperhatikan kondisi tubuh ini akan menjadikan mereka lebih memahami sesuatu apa atau benda apa yang cocok tepakai dan mengonsumsinya. Keadaan seperti ini juga membantu mereka bisa mengekspresikan atau mendiskusikan keadaan dengan rekan atau teman sejawatnya. Dari cerita itulah, para perempuan kemudian bisa saling belajar dan bertukar pengetahuan terkait berbeda-bedanya kondisi fisik mereka.

Perempuan juga tidak akan bersikap sembrono terhadap hal-hal yang akan memberikan masalah pada kondisi tubuhnya. Dengan ini maka perempuan lebih bersikap selektif dengan menjaga keberihan pribadinya.

Memahami Fikih Perempuan

Perempuan bisa berkehendak berguru kepada seseorang yang sekiranya nyaman terajak cerita mengenai kondisi mereka. Setelah memiliki sejumlah pengetahuan terkait kondisi tubuhnya, mereka mulai mempertajam pengetahuan itu dengan mempelajari dan memperdalamnya dengan paham keagamaan. Dalam hal ini, fikih, menjadi ilmu sangat penting untuk terpelajari.

Fikih sendiri merupakan bagian dari ilmu syariat. Di dalamnya membahas perihal ibadah hingga muamalah seperti salat, zakat, puasa, jual-beli, haji, dan lain sebagainya. Fikih tidak serta merta meratakan hukumnya pada setiap mukalaf, terkhusus kaum hawa, ia mempunyai tata caranya sendiri.

Bagaimana hukum keluarnya darah haid, mandi wajib, keputihan, istihadah dan kondisi perempuan lainnya terbahas tapi seringnya tidak begitu rinci. Sementara kitab atau ilmu yang membahasnya dengan detail termaktub dalam kitab terpisah, yang sayangnya, tidak semua kaum hawa mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Hal ini terjadi karena kitab yang membahas haid misalnya, itu hanya menjelaskan sebagian besar umumnya masa haid, yakni 6-7 hari, dan maksimalnya yakni 15 hari. Sementara tidak semua dari mereka mengalami haid yang normal seperti demikian. Sedangkan perhitungan haid secara rinci terbahas dalam kitab berbeda yang lebih tebal, yang umumnya dikaji saat mereka sudah lama belajar agama. Terlebih dengan yang sama sekali tidak dipelajari khusus terkait perhitungan haid yang seperti di pesantren-pesantren itu.

Baca Lainya  Peran Ibu, Pekerja Keras, dan Ria Ricis

Pesantren sebagai Rujukan

Di zaman serba digital ini perempuan tidak perlu khawatir soal ke mana harus melabuhkan dilema untuk mengkonsultasikan masalah keperempuanannya. Sudah banyak para ustazah yang akan membimbing muslimah. Terkhusus sosok ini, perempuan pesantren menjadi sosok yang patut dijadikan rujukan pertama.

Para perempuan itu akrab disapa dengan sebutan nyai bagi pengasuh pesantren, ning bagi anak-mantu sang pengasuh, ustazah bagi dzurriyah atau pembimbing juga pengajar senior. Keilmuwan mereka tentunya tak perlu diragukan lagi. Sebab mereka belajar langsung dari kitab-kitab kuning yang kredibel. Yang masyhur dan disepakati oleh ulama dunia.

Ketika perempuan sudah memahami dirinya dengan baik, lalu mulai sedikit-sedikit mempelajari Fikih Perempuan dengan ahlinya, maka problematik terhadap dirinya lebih mudah diatasi dan dipahami. Perempuan pun akan mendapat dukungan sesama perempuan dan tidak lagi kesulitan mencari guru untuk mengkonsultasikan kondisi tubuhnya.

Bahkan perempuan juga bisa memahamkan laki-laki bahwa kodratnya yang melahirkan dan menyusui merupakan kondisi yang harus dijaga bersama-sama agar rasa sakit yang dialami tidak berlipat-lipat. Atau melakukan sharing dengan sesama perempuan pun menjadi lebih nyaman. Kita seakan bertemu seseorang senasib tapi memahami betul aplikasinya dengan agama dan kehidupan perempuan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *