Sumber Gambar: hidupkatolik.com
Semakin hari, banyak isu gender terjadi di masyarakat. Meski terimbangi usaha untuk mengikis kesenjangan tersebut tapi peran perempuan belum mencapai taraf setara. Hal tersebut berkaitan dengan sifat anggapan pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut adat masyarakat, yang kemudian teryakini sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah atau sudah menjadi kodratnya.
“Tugas istri itu di rumah mengurus suami dan anak” atau “Perempuan tidak perlu sekolah tinggi, karena ujungnya juga di dapur.” Ungkapan-ungkapan seperti itu masih nyaring terdengar, meskipun banyak gerakan kesetaraan gender yang berusaha mengubah pola pikir masyarakat tentang hal-hal yang dianggap kodrat.
Ungkapan tadi sebenarnya bisa diganti menjadi “Mengurus rumah dan anak adalah sebuah keterampilan, bukan menjadi kodrat perempuan”, “Perempuan butuh pendidikan yang cukup sebagai bekal mendidik anaknya”. Lalu ungkapan “Umur segini kok belum nikah” terubah menjadi “Lebih baik telat nikah daripada memilih pasangan yang salah”, dan masih banyak lagi hal-hal tabu yang ternormalisasikan masyarakat mengenai kesetaraan gender.
Memahami Kodrat
Padahal kodrat adalah sesuatu yang bersifat universal, sedangkan gender lebih menekankan pada pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan yang masyarakat secara tak sadar mengaturnya. Dasar adanya kesetaraan gender juga telah Allah Swt. sampaikan dalam QS. An-Nahl ayat 97:
“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan juga dapat terlihat dari tujuan Allah Swt. menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di bumi. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama.
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 30)
Kebanyakan isu gender memang mengarah kepada ketidakadilan kepada perempuan, mengingat posisinya teranggap berada satu tingkat di bawah laki-laki. Sehingga seringkali ia terpandang sebagai individu yang lemah. Tidak jarang hal itu membuat mereka tidak dapat melakukan perlawanan terhadap tindakan yang merugikannya. Namun tidak jarang pula ada mereka yang berani melakukan perlawanan, karena dia merasa memiliki hak untuk mendapat keadilan.
Salah satu kasus yang pernah menarik perhatian publik mengenai perlawanan perempuan adalah kasus di Mojokerto. Kasus istri yang membakar suaminya karena kesal telah menghabiskan uang tunjangan dengan cara melakukan judi online. Kasus tersebut viral karena melibatkan anggota Polri lantaran kedua pasangan suami istri tersebut sama-sama berprofesi sebagai polisi. Dalam kasus tersebut, sang suami tewas mengalami luka bakar yang parah di sekujur tubuhnya.
Melansir kompas.com, Komnas Perempuan menilai sang istri mendapatkan perlakuan KDRT dari suaminya. Ia juga mengaku bahwa suaminya kerap bermain judi online dengan uang tabungan hasil gajinya. Namun karena tidak diindahkan, kesabaran sang istri berakhir dengan percekcokan dan berujung pada insiden pembakaran tersebut.
Lelaku Perlawanan
Perlawanan yang terlakukan bukan serta merta tindakan perempuan yang semena-mena terhadap laki-laki, melainkan karena adanya tekanan yang ia alami. Tekanan tersebut bisa tersebabkan beberapa faktor seperti adanya KDRT, suami meninggalkan tanggung jawabnya (tidak memberi nafkah lahir dan batin), suami mengalami krisis akhlak (suka mabuk, judi), adanya perselingkuhan, bahkan poligami secara diam-diam. Namun, tidak semua perlawanan juga dapat terbenarkan, meskipun itu bentuk menyuarakan haknya.
Bentuk perlawanan perempuan yang harus diperjuangkan dapat berupa mengajukan gugatan cerai atau bantuan hukum. Pun bisa memanfaatkan media sosial (bisa dengan speak up tentang apa saja yang teralami), melakukan pengembangan diri, dan bisa juga dengan mencari dukungan dari keluarga, teman, atau organisasi yang mendukung hak-haknya. Apapun bentuk perlawanannya selama bertujuan untuk hal yang adil dan positif dapat terlakukan, selama tidak melanggar batas-batas keamanan dan hukum.
Sistem sosial kebudayaan yang menempatkannya sebagai warga kelas dua setelah laki-laki, menyebabkan ia mengalami pembatasan hingga ketidakadilan gender. Hal ini tersebabkan adanya konstruksi budaya kolonial, sehingga memungkinkan ia tidak bisa mengartikulasikan diri mereka dan tertakdirkan untuk diam. Akibatnya peran perempuan dalam kehidupan masyarakat dan politik “terjajah”.
Dari kejadian tersebut dapat terambil kesimpulan yang berkaitan dengan gender, yaitu adanya perlawanan kaum hawa. Jika pada umumnya perempuan selalu diam ketika mengalami tekanan, justru dalam kasus ini ia mampu melakukan perlawanan karena merasa pribadinya telah tertekan. Namun tindakan yang sang istri lakukan tetap tidak benar, karena telah menghilangkan nyawa seseorang.
Hal ini juga menunjukkan bahwa kaum hawa yang memiliki jabatan tidak ada jaminan untuk tidak mendapatkan KDRT. Bentuk penindasan seorang laki-laki terhadap perempuan tidak memandang kedudukan, kecantikan, maupun kecakapan. Sebaik apapun perempuan dalam mengabdi kepada laki-laki, tidak menjamin ia akan terhindar dari adanya tekanan jika memang sumber permasalahan ada pada laki-lakinya.